Pages

Subscribe:

Garuda di Dada Siapa?

Animo suporter untuk mendukung langsung aksi Timnas U-23 menghadapi Malaysia begitu deras. Sampai-sampai aparat keamanan yang menjaga pintu masuk Stadion Gelora Bung Karno tak berdaya. Banyak penonton tanpa karcis sukses menerobos keamanan sehingga stadion penuh sesak. "Garuda di Dadaku" menggelegar lagi di Stadion kebanggaan Indonesia itu.

Yang nahas, tidak sedikit suporter yang memiliki tiket justru tidak bisa menikmati hak mereka masuk ke dalam stadion. Suporter yang kecewa akhirnya terpaksa balik badan. Yang tetap tak ingin ketinggalan pertandingan dengan berat langkah mencari area nonton bareng, salah satunya di FX Plaza.

Fenomena ini tentu mengingatkan kita kepada ajang Piala AFF 2010 lalu.Saat itu kemenangan demi kemenangan membuat publik memuja-muja Bambang Pamungkas dkk sehingga lima pertandingan terakhir timnas di even itu, selalu membuat Senayan menjadi lautan merah.

“Tapi waktu AFF, saya bisa tetap masuk meskipun di luar stadion suporter membludak. tidak seperti sekarang,” ujar Rani salah seorang suporter dari Bintaro.

Situasi ini sangat kontras dengan pertandingan Indonesia senior saat menghadapi Iran di laga kualifikasi Pra Piala Dunia, Selasa lalu. Sebagai gambaran, sorak sorai pendukung Iran yang memenuhi tribun VIP terasa lebih membahana di Stadion Gelora Bung Karno ketimbang suporter Indonesia sendiri.

Kenyataan pahit ini harus dialami Garuda senior, setelah empat kali selalu menelan kekalahan masing-masing dari Iran (0-3), Bahrain (0-2), Qatar (2-3 dan 4-0).Perlakuan suporter kali ini sangat kontras dengan saat mereka manggung di Piala AFF tahun lalu.

Para suporter kini hanya rela berbondong-bondong untuk menyaksikan aksi Titus Bonai, bukan lagi Bambang Pamungkas. Publik terutama remaja putri kini mengidolakan Diego Michiels, bukan Cristian Gonzales. Nyanyian ‘Garuda di dadaku’ kini hanya diteriakan kuat-kuat untuk Garuda Muda, bukan Garuda Tua.

Kosongnya bangku Stadion membuat pelatih Iran, Carlos Querioz sedikit terkejut, sebab sebelumnya dia mengira SUGBK akan penuh sesak. Mungkin dia melihat pertandingan Indonesia kala melawan Bahrain, di mana udara Stadion ikut memerah karena suporter menyalakan red flare, dan kembang api, yang bahkan membuat pertandingan saat itu harus dihentikan selama 15 menit.

“Saya tidak setuju dengan sikap mereka. Saya ingin menyampaikan pesan kepada fans Indonesia, dukunglah tim di saat menang maupun kalah, karena para pemain selalu berusaha menunjukkan yang terbaik. Sikap ini seharusnya tak terjadi,” kata pelatih Iran Carlos Queiroz saat jumpa pers usai laga.

Roda memang berputar terlalu cepat bagi Garuda senior. Saat tampil bagus mereka menjadi pujaan, namun hasil sebaliknya, membuat cacian, dan sikap apatis tak kalah deras mengalir.

Fenomena ini memang kerap terjadi di belahan dunia manapun.Tapi rasanya agak tidak adil bila, saat tim kesayangan terpuruk, kita justru meninggalkan bahkan mencaci. Kritik, perlu tapi dukungan jalan terus.

Selama ini pemain selalu disalahkan, tidak memiliki mental baja saat bertanding; mudah down ketika lawan unggul lebih dulu. Itu selalu diungkit-ungkit oleh banyak kalangan, ketika melihat atlet Indonesia kalah dari negara lain, tidak hanya di sepakbola, tapi juga bulutangkis, misalnya.Lalu bagaimana mental kita? Sanggupkah terus mendukung dari pinggir lapangan, sampai pertandingan usai, apapun situasinya?

Saat menghadapi Iran di SUGBK (1-4), Bambang cs seolah berjuang sendirian.Padahal suporter adalah pemain ke-12. Perjuangan untuk memenangkan laga juga bukan hanya beban para pemain dan pelatih, namun juga fans. Seperti nyanyian suporter Liverpool, “You’ll Never Walk Alone.” Konon nyanyian ini yang membuat Steven Gerrard cs bangkit saat tertinggal 3-0 dari AC Milan di final Liga Champions 2005 lalu, dan akhirnya tampil sebagai pemenang.

Saya khawatir, Timnas U-23 akan mengalami nasib serupa dengan seniornya setelah keok dari Malaysia tadi malam dan mungkin tampil mengecewakan di pertandingan selanjutnya. Kalau itu yang terjadi, sebaiknya mulai saat ini kita tidak perlu lagi berteriak “Garuda di Dadaku”, karena tidak lagi bermakna.